Salah satu peninggalan dari nenek moyang kita, yang perlu diuraikan agar menjadi pedoman hidup menuju masyarakat yang sejahtera adalah Asta-brata. Asta artinya delapan, brata artinya tindakan. Jadi, Asta-brata dapat diartikan sebagai delapan macam tindakan. Asta-brata ini diambil dari inti sari wasiat Cupu Manik Asta Gina, atau pegangan hokum bagi para dewa. Konon dengan berpegang pada hokum ini, para dewa dapat memimpin umat manusia menuju kesejahteraan dan kedamaian.
Kalau setiap orang, terutama para pemimpin, berpegang pada asta-brata, maka masyarakat yang sejahtera tidak mustahil terwujud di bumi ini. Adapun asta-brata secara mudah dan jelas digambarkan atau diwujudkan dalam rupa :
1. Wanita: wanita,
2. Garwa; jodoh
3. Wisma : rumah
4. Turangga : kuda tunggangan
5. Curiga : keris, atau senjata
6. Kukila : burung berkutut
7. Waranggana : ronggeng- penari wanita
8. Pradangga : gamelan-bebunyian berirama
Wanita atau wanodya kang puspita, wanita yang cantik jelita, adalah simbol keindahan. Keindahan ini tidak hanya tersirat pada bentuk luarnya saja tetapi juga yang ada dalam jiwa dan budinya. Keindadahan dari wanita yang sempurna merupakan simbol cita cita luhur, seperti laki laki yang ingin memiliki wanita yang cantik jelita untuk di jadikan istrinya. Dengan memiliki cita cita yang tinggi berarti manusia harus berusaha sekuat tenaga untuk belajar, bekerja dan berusaha tanpa mengenal lelah serta pantang menyerah demi mencapai cita cita. Wanodya kang puspita disebut juga juwita yang berarti sarju wani ing tata, selalu berani membela kebenaran.
Garwa atau sigaraning nyawa, belahan jiwa. Suami adalah belah jiwa dari istri dan istrin adalah belahan jiwa suami, satu jiwa dua raga. Maka garwa adalah simbol bersatunya manusia dengan lingkungannya, semua manusia hendaknya dianggap sebagai kawan hidup, dengan hidup rukun, damai, saling mengasihi seperti cinta kasih suami istri yang sehidup semati. Berati setiap manusia harus berbudi luhur.
Wisma atau rumah. Rumah adalah tempat kediaman keluarga yang sekaligus tempat berlindung dari panas dan hujan. Rumah harus diatur, di tata agar rapi dan indah sehingga suasana rumah dirasa asri dan damai. Demikialah juga hendaknya manusia, mempunyai sifat dan pribadi yang dapat melindungi sesama, menyimpan dan mengatur masalah dan bertindak bijaksana terutama mengatur pendapatan menurut tempat, waktu dan keadaan.
Turangga atau tetumpakaning prang para punggawa, kuda tunggangan dari para perwira selalu memiliki sifat gagah, kuat dan lincah, dapat berlari cepat, melompat dan berguling guling sesuai perintah penunggangnya. Bahkan dapat berlari kencang dan menabrak, memporak porandakan apa saja yang menjadi penghalang. Kuda dapat juga berdiri dengan kaki belakang dan menghantam apapun yang ada dimukanya sesuai kendali. Ulah kuda tunggangan perwira perang ini sebagai lambang agar manusia selalu sadar bahwa jasmani, panca indra dan nafsu manusia tergandung dari kendali jiwa dan budi manusia itu sendiri. Jiwa dan budi manusia haruslah selalu dapat menguasai, mengatur dan mengekang gejolak nafsu jasmaniah agar manusia dapat hidup dengan tentram. Bukan sebaliknya dengan hidup liar tanpa kendali sehingga menuai badai dalam kehidupannya.
Curiga, curi lan raga, batu curi atau batu runcing bisa juga diartikan keris. keris adalah simbol kepandaian, keuletan dan ketangkasan hidup manusia dalam menghadapi segala tantangan hidup. Manusia hendaknya memiliki pikiran yang tajam dengan cara belajar, olah rasa, ulet, tangkas sehingga dapat pula mengambil tindakan yang tepat dan terhindar dari tipu daya sesama.
Kukila atau burung perkutut, suara merdu perkutut dipakai sebagai simbol sebagai tutur kata manusia dimana setiap kata yang diucapkan harus dapat menyejukkan, mendamaikan, dan menjauhi kata kata yang menyakitkan hati. Setiap kata hendaknya tegas berisi, berwibawa sehingga manusia dapat saling menghargai.
Waranggana atau Penari Ronggeng, gerakan dan tingkah tarian ronggeng adalah simbol persaingan dan godaan dalam meraih cita cita luhur. Tarian ronggeng dimainkan oleh 5 orang penari, 1 wanita sebagai ronggeng dan 4 pria yang melambangkan jenis godaan manusia. Adapun ke empat macam godaan itu adalah :
Amarah, nafsu yang timbul dari telinga atau pendengaran
Aluamah, nafsu yang timbul dari mulut atau kenikmatan rasa atau serakah
Sufiah, nafsu yang timbul dari mata atau penglihatan
Mutmainah, nafsu yang timbul dari hidung atau penciuman
Bila budi manusia dapat mengekang keempat nafsu itu, maka cita cita luhur akan mudah dicapai, karena manusia akan terhindar dari hidup berfoya foya dan bermalas malasan.
Pradangga, praptaning kendang lan gangsa atau keharmonisan gamelan yang diatur oleh irama kendang. Gamelan dilambangkan sebagai masyarakat yang hidup dengan aturan dan hukum yang dijalankan dan ditaati secara bersama sama. Semua manusia saling mendukung saling bermanfaat bagi sesama, sehingga mewujudkan kehidupan yang harmonis, selaras dan itulah kehidupan yang dicita citakan “tata tentrem karta raharja”
Selasa, 27 Oktober 2015
Cupu Manik Astagina
Cerita wayang ini merupakan bagian dari “Ramayana” yang menceritakan tentang riwayat Subali dan Sugriwa serta anggota kera lainnya sebagai tokoh penting dalam Ramayana. Adapun riwayat singkatnya sebagai berikut:
Di pertapaan “Grastina” yang berada di puncak gunung Sukendro (di seni pedalangan jawa sering disebut pertapaan “Sonyapringga” terdapat seorang pertapa sakti yang masih keturunan sang Hyang Ismaya bernama Resi Gotama. Beliau memiliki seorang istri bidadari cantik yang bernama dewi Windradi. Dari perkawinan ini, Resi Gotama dianugerahi tiga orang anak, yaitu satu putri yang sangat cantik bernama dewi Anjani dan dua orang putra yang sangat tampan yaitu Raden Anjanarka atau Raden Guwarsa serta Raden Anjaningrat atau Raden Guwarsi. Kelak/suatu saat nanti Raden Guwarsa berganti nama menjadi Subali dan Raden Guwarsi menjadi Sugriwa. Baik Subali maupun Sugriwa berujud kera.
Keadaan di pertapaan Sonyapringga saat itu sangat damai, aman sejahtera tidak kekurangan suatu apapun. Dewi Anjani sebagai anak sulung dan anak perempuan satu-satunya sangat disayang oleh semua anggota keluarga, terutama sangat disayang oleh ibundanya (Dewi Windradi). Raden Guwarsi dan Guwarsa sebagai putra seorang Resi hidupnya serba kecukupan dan menyenangkan.
Namun tiba-tiba ketentraman dan kedamaian di pertapaan terusik oleh adanya keributan ketiga orang anak Resi Gotama yang memperebutkan Cupu (semacam piala) ajaib yang disebut ”Cupu Manik Astagina”. Keajaiban dari cupu ini adalah bila dibuka tutupnya maka seluruh isi dunia dengan berbagai peristiwa yang terjadi akan terlihat. Selain dari pada itu, cupu itu juga dapat memberi apapun yang diminta oleh pemiliknya. Maka tidak mengherankan kalau ketiga putra Resi Gotama ingin memilikinya. Lalu dari mana asal cupu ini?
Dikisahkan bahwa Dewi Windradi sebelum menjadi istri Resi Gotama pernah menjadi kekasih Batara Surya yang mempunyai sifat agak Play Boy. Sebagai bukti dari cintanya Batara Surya menghadiahkan Cupu Manik Astagina kepada kekasihnya (Dewi Windradi). Waahh Rupanya Dewa juga punya sisi Romantis Ya....?
Dewi Windradi yang sangat menyayangi putri satu-satunya memberikan cupu pusaka itu kepada Dewi Anjani. Karena benda itu merupakan rahasia pribadi, Dewi Windradi berpesan kepada putrinya agar menjaga kerahasiaan cupu pusaka itu. Tidak boleh ada yang tahu, termasuk kedua saudaranya dan ayahandanya. Akan tetapi, ternyata rahasia itu tidak dapat bertahan seterusnya.
Suatu saat, kedua adik Anjani mengetahui benda ajaib itu. Keduanya tentu saja juga ingin sekali memilikinya. Akhirnya ketiga bersaudara itu bertengkar hebat memperebutkan ”Cupu Manik Astagina”
Resi Gotama yang mendengar dan mengetahui pertengkaran putra-putrinya yang tidak biasanya itu segera datang untuk melerai dan berkata: ”Hai anak-anak! Ada apa kalian sampai bertengkar tidak karuan”? Lalu Raden Guwarsa yang punya sifat agak ”getapan/temperamen” menyahut, maaf ayahanda..... kang mbok Anjani memiliki cupu yang sangat indah dan ajaib (dan terus menceritakan kehebatan cupu). Mengapa ayahanda tidak memberi kami berdua benda seperti itu? Kenapa hanya kang mbok Anjani yang diberi?
Mendengar jawaban dari anaknya yang agak berani dan berbeda dengan biasanya itu, Resi Gotama menjadi kaget dan terdiam sejenak.Resi Gotama merasa tidak pernah memiliki apalagi memberikan cupu kepada Dewi Anjani. Kemudian Resi Gotama memanggil Dewi Anjani untuk melihat cupu yang diperebutkan. Dewi Anjani datang dengan ketakutan dan pucat pasi karena ingat pesan ibundanya untuk merahasiakan cupu tersebut. Maka dengan gemetar Dewi Anjani mendekat kepada ayahandanya. Kemudian Resi Gotama bertanya, ”Putriku yang cantik, mana dan seperti apa benda yang kalian perebutkan?” Suara Resi Gotama sebenarnya sangat lembut, tetapi bagai halilintar di telinga Dewi Anjani karena perasaan bersalahnya. Dengan rasa takut dan gemetar, cupu diserahkan kepada ayahandanya.
Melihat cupu tersebut, Resi Gotama benar-benar menjadi heran dan takjub sekali. Baru kali ini, Resi Gotama melihatnya. Ketika cupu itu dibukanya, rasa heran dan takjub semakin bertambah. Dalam hati Resi berkata, ”Pantas kalau putra-putrinya pada bertengkar untuk memilikinya”. Selanjutnya Resi bertanya kepada Anjani tentang asal-usul cupu tersebut. Karena Dewi Anjani lebih takut pada ayahandanya dari pada kepada ibundanya, maka Dewi Anjani berterus terang bahwa cupu tersebut pemberian dari ibundanya. Mendengar jawaban itu Resi Gotama langsung memanggil dewi Windradi.
Ketika Dewi Windradi telah tiba di hadapan Resi Gotama, lalu Resi Gotama bertanya tentang asal-usul cupu ajaib itu. Tetapi Dewi Windradi diam saja. Pertanyaan itu sampai diulang tiga kali dan Dewi Windradi tetap diam saja hanya menundukkan kepala sambil menangis tersedu-sedu. Melihat sikap istrinya ini, sang Resi sangat murka dan berkata, ”Hei ... Windradi! Kamu ini bagaimana? Ditanya suami sampai tiga kali kok hanya diam saja seperti diamnya Tugu! Seketika itu pula Dewi Windradi berubah menjadi tugu. Ternyata kata-kata yang keluar dari Resi itu merupakan kutukan.
Komentar Penulis
(dari kejadian ini bisa kita ambil hikmahnya bahwa di dalam hidup berkeluarga antara suami dan istri harus saling terbuka tidak boleh menutup-nutupi. Semua orang pasti punya masa lalu dan apabila sudah menjadi suami-istri kedua belah pihak harus bisa menerima apa adanaya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Dalam cerita ini, menurut saya/penulis, yang diminta oleh Resi Gotama adalah kejujuran/keterbukaan dari istrinya bukan masa lalunya. Seandainya Dewi Windradi mau berkata jujur apa adanya saya yakin sang Resi pasti memaklumi dan menerima apa adanya karena dia seorang Resi. Yang terjadi dalam cerita ini adalah sang istri tidak jujur dan tidak menghormati suami karena tidak menjawab pertanyaan suami. Jadi apabila dalam hidup berkeluarga tidak saling terbuka dan istri tidak menghormati suami maka akan terjadi bencana seperti cerita wayang ini)
Melihat ibunya menjadi tugu, ketiga anaknya menjadi terkejut. Dewi Anjani yang merasa paling bersalah langsung menjerit histeris seraya menubruk kaki ayahandanya mohon agar ibunya dapat dikembalikan seperti semula. Tetapi Resi Gotama seolah-olah tidak mendengar permintaan atau permohonan anaknya ini, kemudian malah mengangkat dan dengan sekuat tenaga melemparkan tugu itu keluar. Menurut cerita, tugu itu terlempar sampai di negara Lengkapura (Alengkadiraja) negerinya Rahwana/Dasamuka. Dan kutukan Dewi Windradi ini akan teruwat (berubah menjadi Dewi Windradi kembali) ketika tugu itu digunakan oleh Patih Anila untuk memukul (mengeprok) kepala patih Alengka yang bernama Prahasta.
Setelah itu sambil menimang cupu, Resi Gotama bersabda kepada ketiga putranya, ”Hai anak-anakku, cupu ini akan saya lemparkan jauh. Kalian boleh mencarinya. Barang siapa yang pertama menemukan, dialah yang berhak memilikinya”
Maka Dewi Anjani, Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi segera berlarian mengikuti arah cupu pusaka itu. Mereka lari saling mendahului dengan harapan mendapatkan cupu ajaib yang diidam-idamkan. Mereka sudah melupakan ibunya yang sudah berubah menjadi tugu dan tidak tahu keberadaannya. Kasih sayang ibu yang selama ini tercurah kepadanya seolah-olah sudah mereka lupakan karena pikirannya sudah terbius oleh rasa ingin memiliki cupu ajaib itu.
”Cupu Manik Astagina” memang bukan sembarang pusaka. Ketika dilemparkan oleh Resi Gotama, tutup dan badan cupu terpisah. Tutup cupu terlempar lebih jauh dan jatuh di negara Ayodya dan berubah menjadi telaga ”Nirmala” atau telaga tanpa cacat. Sementara itu, badan cupu jatuh di tengah hutan dan berubah menjadi telaga ”Sumala” atau telaga penuh cacat. Ketiga putra Resi Gotama tidak mengetahui akan kejadian itu.
Dikisahkan Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi dalam pengejarannya terhalang oleh telaga Sumala tadi. Mereka berdua mengira bahwa cupu yang dikejarnya jatuh di telaga tersebut. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung terjun dan menyelam di telaga untuk mencarinya. Kedua satria ini memang sangat sakti. Mereka berenang ke sana ke mari di dalam telaga dalam waktu yang cukup lama tanpa muncul di permukaan air untuk menghirup udara.
Suatu saat, kedua satria ini muncul hampir bersamaan pada tempat yang tidak begitu jauh untuk menghirup udara. Raden Guwarsa sangat terkejut melihat ada seekor kera sebesar manusia yang juga ikut menyelam di telaga itu. Dia mengira bahwa kera itulah yang telah menemukan cupu yang sedang dicarinya. Hal yang sama dialami oleh Raden Guwarsi. Oleh karena itu tanpa bertegur sapa lebih dulu, kedua satria yang sudah berujud kera itu langsung saling menyerang dengan hebatnya.
Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi tidak menyadari bahwa mereka berdua telah berubah menjadi kera. Sebagai anak dan sekaligus murid Resi Gotama, kedua satria ini memang memiliki kesaktian yang luar biasa dan hampir berimbang. Raden Guwarsa yang lebih tua tampaknya sedikit lebih unggul sehingga lama kelamaan Raden Guwarsi terdesak.
Dewi Anjani yang agak tertinggal, tidak lama kemudian sampai juga di tepi telaga itu. Badannya berkeringat dan kotor. Agar terasa lebih segar, Dewi Anjani mendekati air telaga untuk sekedar membasuh tangan, kaki bagain bawah dan mukanya. Setelah itu dia duduk di bawah pohon untuk melepaskan lelah sambil terus merenungkan tentang cupu yang dicarinya. Beberapa saat kemudian, Dewi Anjani terkejut karena lengan dan bagian-bagian tubuh lain yang tadi dibasuh dengan air telaga tiba-tiba tumbuh rambut yang tidak wajar. Kini lengannya memiliki rambut lembut seperti rambut kera. Dan ketika mengusap wajahnya, makin terkejutlah dia karena mukanyapun juga terasa ditumbuhi rambut seperti di tangannya.
Dewi Anjani menjadi gemetar badannya. Untuk meyakinkan keadaannya, dia cepat-cepat berdiri dan berlari ke pinggiran telaga untuk berkaca di air telaga yang memang cukup jernih. Begitu melihat bayangan wajahnya di permukaan air telaga, Dewi Anjani menjerit dan kemudian menangis sambil menutup mukanya. Wajahnya yang semula cantik bagai bidadari, kini berubah menjadi seperti kera. Tangan dan kaki bagian bawah yang tadi dibasuh dengan air telaga juga berambut seperti tangan dan kaki kera. Kini dia sadar bahwa telaga itu bukan sembarang telaga. Air telaga itu ternyata dapat merubah tubuh manusia menjadi kera.
Setelah beberapa saat Dewi Anjani merenungi dan meratapi nasibnya, tiba-tiba mendengar dan melihat perkelahian dua kera di telaga itu. Semula putri yang malang ini tidak memperdulikan kejadian tersebut. Tetapi setelah dia berpikir tentang kejadian yang menimpa dirinya, dia ingat akan kedua saudaranya yang juga mencari cupu, Dewi Anjani langsung meyakini bahwa mereka yang berkelahi itu adalah kedua adiknya. Karena itu sebelum ada yang terluka parah, Dewi Anjani segera mendekati perkelahian dan berteriak memanggil nama kedua adiknya.
”Dimas Guwarsa......! Dimas Guwarsi .......! Benarkah yang sedang berkelahi itu kalian ........? Demikian teriak Dewi Anjani berulang-ulang.
Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi yang cukup dekat dengan Dewi Anjani tidak lupa akan suara kakaknya. Mereka saling menjauhkan diri dan berhenti berkelahi. Mereka tercengang ada wanita berwajah dan berlengan kera memanggil-manggil nama mereka. Sementara itu Dewi Anjani melihat keragu-raguan keduanya. Maka agar lebih meyakinkan, Dewi Anjani berteriak kembali.
”.....Dimas berdua,.....saya ini adalah benar-benar Dewi Anjani,...... kakakmu”!
Suara Dewi Anjani agak pelan dan gemetar. Kedua adiknya yang sangat mengenal suara itu langsung saling menengok. Dengan langkah satu dua yang lambat, dua bersaudara itu mendekati Dewi Anjani yang telah berubah rupa itu.
Kemudian Raden Guwarsi yang agak lebih tenang karakternya, berkata:
”Benarkah anda Dewi Anjani putra Resi Gotama, kakak saya”?
”Benar dimas, saya adalah Dewi Anjani kakak kalian....” Jawab Dewi Anjani.
”Akan tetapi, mengapa kakanda jadi begitu........? Tanya Raden Guwarsi. Kemudian Dewi Anjani yang sudah agak tenang menjawab: ”Dimas berdua, sebelum saya menjawab cobalah kalian berkaca di air telaga itu. Setelah kalian menyadari bahwa ujud kalian sudah berubah, mungkin sebagian pertanyaan itu akan terjawab”.
Sebenarnya Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi sudah menangkap maksud kakaknya itu. Namun untuk meyakinkan, mereka berdua tetap mendekati air telaga untuk berkaca. Begitu melihat bayangan diri mereka, badan kedua satria itu menjadi gemetar dan jantungnya berdebar sangat keras.
Raden Guwarsa menengok kera di sebelahnya dan bertanya: ”jadi kamu adalah adik saya, ... adinda Guwarsi”? ...dan kamu adalah kakak saya,.... kakanda Guwarsa”? Jawab Raden Guwarsi. Selanjutnya, kedua bersaudara itu berpelukan, menangis sedih dan penuh penyesalan. Dewi Anjani mendekat dan segera memeluk kedua adiknya yang sudah berubah menjadi kera itu, dan air matanya kembali bercucuran.
Ketiga putra-putri Resi Gotama itu, kini duduk berdekatan di tepi telaga. Wajah mereka tampak sangat sedih dan kecewa. Ketiganya kini menyadari bahwa mereka telah terkena kutuk dari Dewa.
Kini tinggal penyesalan dan kesedihan yang harus dihadapi. Mereka menunduk dan menutupi wajahnya. Pikirannya kalut dan hatinya sangat sedih. Akhirnya, ketiga bersaudara ini sepakat untuk pulang mengadukan nasibnya kepada Resi Gotama, ayahnya.
Komentar Penulis
”Apabila manusia berambisi untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi haknya bahkan saling memperebutkannya, maka perilaku yang demikian itu adalah perilakunya kera. Jadi tidak pantas dilakukan oleh manusia. Dan apabila manusia memiliki perilaku seperti itu artinya manusia lebih rendah dari kera karena manusia memiliki otak untuk berpikir sehingga tahu mana yang baik, mana yang buruk, mana yang menjadi haknya mana yang bukan haknya”
Di pertapaan ”Grastina”, Resi Gotama hatinya sangat sedih atas pengalaman yang baru saja terjadi. Kesedihan makin bertambah manakala sedang merenung, tiba-tiba kedua orang putranya Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi datang dan merangkul kakinya dalam wujud yang sangat berbeda. Kedua orang putranya yang tampan kini telah berubah menjadi manusia ”kera”. Sementara itu putrinya yang sangat cantik kini berwajah kera dengan tangan dan kaki seperti kera, tetapi badannya tetap seperti dulu.
Resi Gotama yang sudah matang ilmunya tahu persis apa yang telah terjadi. Anak dan istrinya, bahkan seluruh keluarganya kena ”siku” (kutukan) dari dewa. Walaupun sangat kuat batinnya, Sang Resi tidak mampu menahan air matanya yang mengalir membasahi pipi yang keriput. Apalagi ketika mendengar ratapan anak-anaknya untuk dapat dikembalikan seperti ujud semula. Resi Gotama tertunduk diam. Akhirnya dengan suara pelan dan lembut penuh kasih sayang, Resi Gotama berkata: ”Aduh anak-anakku yang sangat saya cintai, Semua yang terjadi pada kalian sudah menjadi kehendak dewa. Kalian dapat kembali seperti semula setelah mendapat anugerah dan pengampunan dari yang maha kuasa. Untuk itu ada jalan yang harus kalian tempuh anak-anakku! Anjani, kamu harus bertapa ”nyantuk” (hidup seperti katak) di telaga ”Madirda”. Engkau Guwarsa, harus bertapa ”ngalong” (hidup seperti kalong/kelelawar pemakan buah-buahan) di gunung Sunyapringga, dan Engkau Guwarsi, bertapalah ”ngidang” (hidup seperti kijang) di lereng gunung Sunyaprimgga itu. Selain itu, sejak saat ini Guwarsa gantilah nama menjadi Subali dan Guwarsi menjadi Sugriwa. Dengan cara demikian, mudah-mudahan engkau semua akan dapat kembali seperti sedia kala dan mendapatkan karunia dari Yang Maha Kuasa.
Di pertapaan “Grastina” yang berada di puncak gunung Sukendro (di seni pedalangan jawa sering disebut pertapaan “Sonyapringga” terdapat seorang pertapa sakti yang masih keturunan sang Hyang Ismaya bernama Resi Gotama. Beliau memiliki seorang istri bidadari cantik yang bernama dewi Windradi. Dari perkawinan ini, Resi Gotama dianugerahi tiga orang anak, yaitu satu putri yang sangat cantik bernama dewi Anjani dan dua orang putra yang sangat tampan yaitu Raden Anjanarka atau Raden Guwarsa serta Raden Anjaningrat atau Raden Guwarsi. Kelak/suatu saat nanti Raden Guwarsa berganti nama menjadi Subali dan Raden Guwarsi menjadi Sugriwa. Baik Subali maupun Sugriwa berujud kera.
Keadaan di pertapaan Sonyapringga saat itu sangat damai, aman sejahtera tidak kekurangan suatu apapun. Dewi Anjani sebagai anak sulung dan anak perempuan satu-satunya sangat disayang oleh semua anggota keluarga, terutama sangat disayang oleh ibundanya (Dewi Windradi). Raden Guwarsi dan Guwarsa sebagai putra seorang Resi hidupnya serba kecukupan dan menyenangkan.
Namun tiba-tiba ketentraman dan kedamaian di pertapaan terusik oleh adanya keributan ketiga orang anak Resi Gotama yang memperebutkan Cupu (semacam piala) ajaib yang disebut ”Cupu Manik Astagina”. Keajaiban dari cupu ini adalah bila dibuka tutupnya maka seluruh isi dunia dengan berbagai peristiwa yang terjadi akan terlihat. Selain dari pada itu, cupu itu juga dapat memberi apapun yang diminta oleh pemiliknya. Maka tidak mengherankan kalau ketiga putra Resi Gotama ingin memilikinya. Lalu dari mana asal cupu ini?
Dikisahkan bahwa Dewi Windradi sebelum menjadi istri Resi Gotama pernah menjadi kekasih Batara Surya yang mempunyai sifat agak Play Boy. Sebagai bukti dari cintanya Batara Surya menghadiahkan Cupu Manik Astagina kepada kekasihnya (Dewi Windradi). Waahh Rupanya Dewa juga punya sisi Romantis Ya....?
Dewi Windradi yang sangat menyayangi putri satu-satunya memberikan cupu pusaka itu kepada Dewi Anjani. Karena benda itu merupakan rahasia pribadi, Dewi Windradi berpesan kepada putrinya agar menjaga kerahasiaan cupu pusaka itu. Tidak boleh ada yang tahu, termasuk kedua saudaranya dan ayahandanya. Akan tetapi, ternyata rahasia itu tidak dapat bertahan seterusnya.
Suatu saat, kedua adik Anjani mengetahui benda ajaib itu. Keduanya tentu saja juga ingin sekali memilikinya. Akhirnya ketiga bersaudara itu bertengkar hebat memperebutkan ”Cupu Manik Astagina”
Resi Gotama yang mendengar dan mengetahui pertengkaran putra-putrinya yang tidak biasanya itu segera datang untuk melerai dan berkata: ”Hai anak-anak! Ada apa kalian sampai bertengkar tidak karuan”? Lalu Raden Guwarsa yang punya sifat agak ”getapan/temperamen” menyahut, maaf ayahanda..... kang mbok Anjani memiliki cupu yang sangat indah dan ajaib (dan terus menceritakan kehebatan cupu). Mengapa ayahanda tidak memberi kami berdua benda seperti itu? Kenapa hanya kang mbok Anjani yang diberi?
Mendengar jawaban dari anaknya yang agak berani dan berbeda dengan biasanya itu, Resi Gotama menjadi kaget dan terdiam sejenak.Resi Gotama merasa tidak pernah memiliki apalagi memberikan cupu kepada Dewi Anjani. Kemudian Resi Gotama memanggil Dewi Anjani untuk melihat cupu yang diperebutkan. Dewi Anjani datang dengan ketakutan dan pucat pasi karena ingat pesan ibundanya untuk merahasiakan cupu tersebut. Maka dengan gemetar Dewi Anjani mendekat kepada ayahandanya. Kemudian Resi Gotama bertanya, ”Putriku yang cantik, mana dan seperti apa benda yang kalian perebutkan?” Suara Resi Gotama sebenarnya sangat lembut, tetapi bagai halilintar di telinga Dewi Anjani karena perasaan bersalahnya. Dengan rasa takut dan gemetar, cupu diserahkan kepada ayahandanya.
Melihat cupu tersebut, Resi Gotama benar-benar menjadi heran dan takjub sekali. Baru kali ini, Resi Gotama melihatnya. Ketika cupu itu dibukanya, rasa heran dan takjub semakin bertambah. Dalam hati Resi berkata, ”Pantas kalau putra-putrinya pada bertengkar untuk memilikinya”. Selanjutnya Resi bertanya kepada Anjani tentang asal-usul cupu tersebut. Karena Dewi Anjani lebih takut pada ayahandanya dari pada kepada ibundanya, maka Dewi Anjani berterus terang bahwa cupu tersebut pemberian dari ibundanya. Mendengar jawaban itu Resi Gotama langsung memanggil dewi Windradi.
Ketika Dewi Windradi telah tiba di hadapan Resi Gotama, lalu Resi Gotama bertanya tentang asal-usul cupu ajaib itu. Tetapi Dewi Windradi diam saja. Pertanyaan itu sampai diulang tiga kali dan Dewi Windradi tetap diam saja hanya menundukkan kepala sambil menangis tersedu-sedu. Melihat sikap istrinya ini, sang Resi sangat murka dan berkata, ”Hei ... Windradi! Kamu ini bagaimana? Ditanya suami sampai tiga kali kok hanya diam saja seperti diamnya Tugu! Seketika itu pula Dewi Windradi berubah menjadi tugu. Ternyata kata-kata yang keluar dari Resi itu merupakan kutukan.
Komentar Penulis
(dari kejadian ini bisa kita ambil hikmahnya bahwa di dalam hidup berkeluarga antara suami dan istri harus saling terbuka tidak boleh menutup-nutupi. Semua orang pasti punya masa lalu dan apabila sudah menjadi suami-istri kedua belah pihak harus bisa menerima apa adanaya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Dalam cerita ini, menurut saya/penulis, yang diminta oleh Resi Gotama adalah kejujuran/keterbukaan dari istrinya bukan masa lalunya. Seandainya Dewi Windradi mau berkata jujur apa adanya saya yakin sang Resi pasti memaklumi dan menerima apa adanya karena dia seorang Resi. Yang terjadi dalam cerita ini adalah sang istri tidak jujur dan tidak menghormati suami karena tidak menjawab pertanyaan suami. Jadi apabila dalam hidup berkeluarga tidak saling terbuka dan istri tidak menghormati suami maka akan terjadi bencana seperti cerita wayang ini)
Melihat ibunya menjadi tugu, ketiga anaknya menjadi terkejut. Dewi Anjani yang merasa paling bersalah langsung menjerit histeris seraya menubruk kaki ayahandanya mohon agar ibunya dapat dikembalikan seperti semula. Tetapi Resi Gotama seolah-olah tidak mendengar permintaan atau permohonan anaknya ini, kemudian malah mengangkat dan dengan sekuat tenaga melemparkan tugu itu keluar. Menurut cerita, tugu itu terlempar sampai di negara Lengkapura (Alengkadiraja) negerinya Rahwana/Dasamuka. Dan kutukan Dewi Windradi ini akan teruwat (berubah menjadi Dewi Windradi kembali) ketika tugu itu digunakan oleh Patih Anila untuk memukul (mengeprok) kepala patih Alengka yang bernama Prahasta.
Setelah itu sambil menimang cupu, Resi Gotama bersabda kepada ketiga putranya, ”Hai anak-anakku, cupu ini akan saya lemparkan jauh. Kalian boleh mencarinya. Barang siapa yang pertama menemukan, dialah yang berhak memilikinya”
Maka Dewi Anjani, Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi segera berlarian mengikuti arah cupu pusaka itu. Mereka lari saling mendahului dengan harapan mendapatkan cupu ajaib yang diidam-idamkan. Mereka sudah melupakan ibunya yang sudah berubah menjadi tugu dan tidak tahu keberadaannya. Kasih sayang ibu yang selama ini tercurah kepadanya seolah-olah sudah mereka lupakan karena pikirannya sudah terbius oleh rasa ingin memiliki cupu ajaib itu.
”Cupu Manik Astagina” memang bukan sembarang pusaka. Ketika dilemparkan oleh Resi Gotama, tutup dan badan cupu terpisah. Tutup cupu terlempar lebih jauh dan jatuh di negara Ayodya dan berubah menjadi telaga ”Nirmala” atau telaga tanpa cacat. Sementara itu, badan cupu jatuh di tengah hutan dan berubah menjadi telaga ”Sumala” atau telaga penuh cacat. Ketiga putra Resi Gotama tidak mengetahui akan kejadian itu.
Dikisahkan Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi dalam pengejarannya terhalang oleh telaga Sumala tadi. Mereka berdua mengira bahwa cupu yang dikejarnya jatuh di telaga tersebut. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung terjun dan menyelam di telaga untuk mencarinya. Kedua satria ini memang sangat sakti. Mereka berenang ke sana ke mari di dalam telaga dalam waktu yang cukup lama tanpa muncul di permukaan air untuk menghirup udara.
Suatu saat, kedua satria ini muncul hampir bersamaan pada tempat yang tidak begitu jauh untuk menghirup udara. Raden Guwarsa sangat terkejut melihat ada seekor kera sebesar manusia yang juga ikut menyelam di telaga itu. Dia mengira bahwa kera itulah yang telah menemukan cupu yang sedang dicarinya. Hal yang sama dialami oleh Raden Guwarsi. Oleh karena itu tanpa bertegur sapa lebih dulu, kedua satria yang sudah berujud kera itu langsung saling menyerang dengan hebatnya.
Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi tidak menyadari bahwa mereka berdua telah berubah menjadi kera. Sebagai anak dan sekaligus murid Resi Gotama, kedua satria ini memang memiliki kesaktian yang luar biasa dan hampir berimbang. Raden Guwarsa yang lebih tua tampaknya sedikit lebih unggul sehingga lama kelamaan Raden Guwarsi terdesak.
Dewi Anjani yang agak tertinggal, tidak lama kemudian sampai juga di tepi telaga itu. Badannya berkeringat dan kotor. Agar terasa lebih segar, Dewi Anjani mendekati air telaga untuk sekedar membasuh tangan, kaki bagain bawah dan mukanya. Setelah itu dia duduk di bawah pohon untuk melepaskan lelah sambil terus merenungkan tentang cupu yang dicarinya. Beberapa saat kemudian, Dewi Anjani terkejut karena lengan dan bagian-bagian tubuh lain yang tadi dibasuh dengan air telaga tiba-tiba tumbuh rambut yang tidak wajar. Kini lengannya memiliki rambut lembut seperti rambut kera. Dan ketika mengusap wajahnya, makin terkejutlah dia karena mukanyapun juga terasa ditumbuhi rambut seperti di tangannya.
Dewi Anjani menjadi gemetar badannya. Untuk meyakinkan keadaannya, dia cepat-cepat berdiri dan berlari ke pinggiran telaga untuk berkaca di air telaga yang memang cukup jernih. Begitu melihat bayangan wajahnya di permukaan air telaga, Dewi Anjani menjerit dan kemudian menangis sambil menutup mukanya. Wajahnya yang semula cantik bagai bidadari, kini berubah menjadi seperti kera. Tangan dan kaki bagian bawah yang tadi dibasuh dengan air telaga juga berambut seperti tangan dan kaki kera. Kini dia sadar bahwa telaga itu bukan sembarang telaga. Air telaga itu ternyata dapat merubah tubuh manusia menjadi kera.
Setelah beberapa saat Dewi Anjani merenungi dan meratapi nasibnya, tiba-tiba mendengar dan melihat perkelahian dua kera di telaga itu. Semula putri yang malang ini tidak memperdulikan kejadian tersebut. Tetapi setelah dia berpikir tentang kejadian yang menimpa dirinya, dia ingat akan kedua saudaranya yang juga mencari cupu, Dewi Anjani langsung meyakini bahwa mereka yang berkelahi itu adalah kedua adiknya. Karena itu sebelum ada yang terluka parah, Dewi Anjani segera mendekati perkelahian dan berteriak memanggil nama kedua adiknya.
”Dimas Guwarsa......! Dimas Guwarsi .......! Benarkah yang sedang berkelahi itu kalian ........? Demikian teriak Dewi Anjani berulang-ulang.
Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi yang cukup dekat dengan Dewi Anjani tidak lupa akan suara kakaknya. Mereka saling menjauhkan diri dan berhenti berkelahi. Mereka tercengang ada wanita berwajah dan berlengan kera memanggil-manggil nama mereka. Sementara itu Dewi Anjani melihat keragu-raguan keduanya. Maka agar lebih meyakinkan, Dewi Anjani berteriak kembali.
”.....Dimas berdua,.....saya ini adalah benar-benar Dewi Anjani,...... kakakmu”!
Suara Dewi Anjani agak pelan dan gemetar. Kedua adiknya yang sangat mengenal suara itu langsung saling menengok. Dengan langkah satu dua yang lambat, dua bersaudara itu mendekati Dewi Anjani yang telah berubah rupa itu.
Kemudian Raden Guwarsi yang agak lebih tenang karakternya, berkata:
”Benarkah anda Dewi Anjani putra Resi Gotama, kakak saya”?
”Benar dimas, saya adalah Dewi Anjani kakak kalian....” Jawab Dewi Anjani.
”Akan tetapi, mengapa kakanda jadi begitu........? Tanya Raden Guwarsi. Kemudian Dewi Anjani yang sudah agak tenang menjawab: ”Dimas berdua, sebelum saya menjawab cobalah kalian berkaca di air telaga itu. Setelah kalian menyadari bahwa ujud kalian sudah berubah, mungkin sebagian pertanyaan itu akan terjawab”.
Sebenarnya Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi sudah menangkap maksud kakaknya itu. Namun untuk meyakinkan, mereka berdua tetap mendekati air telaga untuk berkaca. Begitu melihat bayangan diri mereka, badan kedua satria itu menjadi gemetar dan jantungnya berdebar sangat keras.
Raden Guwarsa menengok kera di sebelahnya dan bertanya: ”jadi kamu adalah adik saya, ... adinda Guwarsi”? ...dan kamu adalah kakak saya,.... kakanda Guwarsa”? Jawab Raden Guwarsi. Selanjutnya, kedua bersaudara itu berpelukan, menangis sedih dan penuh penyesalan. Dewi Anjani mendekat dan segera memeluk kedua adiknya yang sudah berubah menjadi kera itu, dan air matanya kembali bercucuran.
Ketiga putra-putri Resi Gotama itu, kini duduk berdekatan di tepi telaga. Wajah mereka tampak sangat sedih dan kecewa. Ketiganya kini menyadari bahwa mereka telah terkena kutuk dari Dewa.
Kini tinggal penyesalan dan kesedihan yang harus dihadapi. Mereka menunduk dan menutupi wajahnya. Pikirannya kalut dan hatinya sangat sedih. Akhirnya, ketiga bersaudara ini sepakat untuk pulang mengadukan nasibnya kepada Resi Gotama, ayahnya.
Komentar Penulis
”Apabila manusia berambisi untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi haknya bahkan saling memperebutkannya, maka perilaku yang demikian itu adalah perilakunya kera. Jadi tidak pantas dilakukan oleh manusia. Dan apabila manusia memiliki perilaku seperti itu artinya manusia lebih rendah dari kera karena manusia memiliki otak untuk berpikir sehingga tahu mana yang baik, mana yang buruk, mana yang menjadi haknya mana yang bukan haknya”
Di pertapaan ”Grastina”, Resi Gotama hatinya sangat sedih atas pengalaman yang baru saja terjadi. Kesedihan makin bertambah manakala sedang merenung, tiba-tiba kedua orang putranya Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi datang dan merangkul kakinya dalam wujud yang sangat berbeda. Kedua orang putranya yang tampan kini telah berubah menjadi manusia ”kera”. Sementara itu putrinya yang sangat cantik kini berwajah kera dengan tangan dan kaki seperti kera, tetapi badannya tetap seperti dulu.
Resi Gotama yang sudah matang ilmunya tahu persis apa yang telah terjadi. Anak dan istrinya, bahkan seluruh keluarganya kena ”siku” (kutukan) dari dewa. Walaupun sangat kuat batinnya, Sang Resi tidak mampu menahan air matanya yang mengalir membasahi pipi yang keriput. Apalagi ketika mendengar ratapan anak-anaknya untuk dapat dikembalikan seperti ujud semula. Resi Gotama tertunduk diam. Akhirnya dengan suara pelan dan lembut penuh kasih sayang, Resi Gotama berkata: ”Aduh anak-anakku yang sangat saya cintai, Semua yang terjadi pada kalian sudah menjadi kehendak dewa. Kalian dapat kembali seperti semula setelah mendapat anugerah dan pengampunan dari yang maha kuasa. Untuk itu ada jalan yang harus kalian tempuh anak-anakku! Anjani, kamu harus bertapa ”nyantuk” (hidup seperti katak) di telaga ”Madirda”. Engkau Guwarsa, harus bertapa ”ngalong” (hidup seperti kalong/kelelawar pemakan buah-buahan) di gunung Sunyapringga, dan Engkau Guwarsi, bertapalah ”ngidang” (hidup seperti kijang) di lereng gunung Sunyaprimgga itu. Selain itu, sejak saat ini Guwarsa gantilah nama menjadi Subali dan Guwarsi menjadi Sugriwa. Dengan cara demikian, mudah-mudahan engkau semua akan dapat kembali seperti sedia kala dan mendapatkan karunia dari Yang Maha Kuasa.
Langganan:
Postingan (Atom)